BANYAK kisah tentang bagaimana Ustadz Jeffry Al-Buchory atau biasa dipanggil Uje, berdakwah.
Misalnya saja, suatu kali Uje sedang makan siang di sebuah resto
pinggiran jalan. Namanya juga tempat makan dekat pinggir jalan, seorang
bencong masuk dan langsung mengamen.
“Idih, endang, endang, ada Uje di sindang bow,” ujar si bencong itu. Uje memang terkenal.
“Ayo, sini masuk, duduk di sini,” ujar Uje.
Bencong itu kebingungan.
Uje berujar lagi, “Ayo masuk, duduk di sini sama saya. Kamu belon makan siang kan? Ayo duduk, makan sama saya.”
Si bencong mendadak jadi jaim. Rumpinya langsung hilang.
“Maaf Uje, saya tadi udah makan.”
“Udah deh … sama ustadz jangan coba-coba boong. Itu dosa namanya,” samber Uje dengan cepat.
Akhirnya bencong itu duduk satu meja dan makan bareng Uje. “Iya iya, Uje.”
Setelah makan siang, bencong itu bertanya sambil terharu. “Uje, saya mau tanya kenapa Uje nggak malu ajak saya makan bareng?”
Uje tesenyum, kemudian menjawab, “Kenapa saya mesti malu? Kamu kan sama
dengan saya, sama-sama mahluk ciptaan Allah. Saya wajib menghargai kamu
apa adanya.”
Bencong diam dan makin terharu.
Besoknya bencong muncul di masjid. Tidak memakai make up dan rok. Tapi mengenakan kopiah, baju koko, dan sarung.
Sepertinya, apa yang dilontarkan Dorce benar adanya, bahwa Uje, ia tak
terlihat seperti ulama, ustadz, atau dai. Dia merangkul semua orang. Ia
mampu mendalami apa permasalahan yang terjadi pada setiap orang.